Kontroversi
pendapat masyarakat memicu perlakuan masyarakat yang kurang wajar terhadap kaum
homoseks. Mereka dianggap sebagai kelompok yang tidak punya malu, tidak
berbudaya dan menjadi patologi sosial. Lantas bagaimana mereka (gay) akan mampu
berkarya dan berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara, berperan dalam
pengembangan sumber daya manusia bila keberadaan mereka tetap tidak punya
tempat di hati masyarakat? Sebab kita cenderung takut dianggap bagian dari komunitas
kaum gay, jika kita peduli pada permasalahan mereka.
Homoseksual
memang bukan keberuntungan, akan tetapi bukan pula sesuatu yang memalukan,
sebab bukan tindak kejahatan. Tetapi apakah semua orang akan mau peduli dan
menghargai keberadaan mereka? Rasanya mustahil, sebab jangkauan untuk
menghargai dan memahami perasaan mereka, bersimpati atas prestasi kerja mereka,
untuk ngobrolpun barangkali kita tidak berkenan. Bahkan ibu kandung sendiri
yang bertarung antara hidup dan mati di saat akan melahirkannya, tidak sudi
lagi mengakuinya sebagai anak. Alasan malu dan memalukan, aib bagi keluarga,
menjadikan keluarga atau orang tua tega untuk mengusirnya dari rumah. Hal ini
tentu sangat menyakitkan bagi seorang gay, sehingga tidak mengherankan jika
banyak di antara kaum gay yang melakukan upaya percobaan bunih diri sebagai
jalan pintas mengakhiri tekanan batin dan timbunan emosi yang terakumulasi.
Mengkonsumsi narkoba untuk menghilangkan luka lara walau sifatnya hanya
sementara. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ada yang nekat mencari dan
berupaya menjerumuskan orang lain untuk memperbanyak jumlah komunitas sebagai
wujud perasaan terisolir dari lingkungan masyarakat.
Perlu
disadari bahwa kaum homoseks pria tidak minta dilebihkan atau diperlakukan
secara istimewa, namun mereka juga tidak ingin dianggap sebagai sampah
masyarakat, sebab mereka toh dapat berdaya guna dan menghasilkan suatu karya
spektakuler yang dapat dinikmati umat manusia dan demi alasan kemanusiaan. Kita
tidak bisa pungkiri Elton John si penyanyi kondang itu misalnya, mampu
menghibur masyarakat dunia lewat lagu-lagunya. Barangkali ia sendiri belum
tentu dapat terhibur dengan lagu yang dinyanyikannya, sebab keberadaannya
sebagai seorang gay sangat dicemooh banyak anggota masyarakat. Bahkan banyak penggemarnya
yang berubah menjadi sangat antipati setelah ia memproklamirkan dirinya sebagai
seorang gay. Beruntung ia seorang artis penyanyi yang populer, sehingga banyak
kalangan menganggap pola hidupnya adalah trend perilaku di kalangan selebritis.
Orang tidak begitu mau peduli mengapa ia menjadi seorang gay. Apakah pengalaman
masa lalunya yang suram ataukah adanya kelainan hormonal. Kalangan ilmuanpun
kelihatannya tidak berupaya untuk mengetahui gradasi homoseksualitas dirinya.
Semua beranggapan bahwa homoseksualitas adalah trend perilaku orang tenar yang
memiliki banyak uang dan sudah lazim terjadi di kalangan artis. Maukah kita
mengatakannya sebagai trend perilaku? Boro-boro menyebutnya sebagai trend
perilaku, untuk sekedar bertegur sapapun barangkali sudah kita najiskan.
Mereka
adalah manusia yang butuh pengembangan diri dan mereka memiliki kebutuhan
primer biologis sampai dengan kebutuhan aktualisasi potensi diri, yang
kesemuanya butuh penyaluran dan penyeimbangan. Sebab kalau kita mau jujur dalam
hidup ini, kita pasti mengakui bahwa tidak seorangpun di dunia ini yang tidak
punya kelemahan dan kelebihan, termasuk kaum gay. Mereka akan senantiasa ada
dalam kehidupan bermasyarakat, berkembang dan bertambah jumlahnya sekalipun
mereka tidak bisa melahirkan seorang anak. Oleh karena itu rasanya sangat wajar
kalau semua lapisan masyarakat bersedia menghargai dan mengakui mereka sebagai
bagian dari masyarakat, serta secara berdampingan meraih sukses dalam
kehidupan. Kesediaan kita untuk mengakui eksistensi kaum gay, menerima
keberadaan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta kesediaan
kita memberi dukungan yang mereka butuhkan dalam kehidupan ini secara wajar,
merupakan perwujudan sikap agung manusia berbudaya. Semoga kita bersedia
melakukannya...
No comments:
Post a Comment