Wednesday, March 6, 2013

EKSISTENSI KAUM HOMOSEKSUAL PRIA


Kontroversi pendapat masyarakat memicu perlakuan masyarakat yang kurang wajar terhadap kaum homoseks. Mereka dianggap sebagai kelompok yang tidak punya malu, tidak berbudaya dan menjadi patologi sosial. Lantas bagaimana mereka (gay) akan mampu berkarya dan berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara, berperan dalam pengembangan sumber daya manusia bila keberadaan mereka tetap tidak punya tempat di hati masyarakat? Sebab kita cenderung takut dianggap bagian dari komunitas kaum gay, jika kita peduli pada permasalahan mereka.

Homoseksual memang bukan keberuntungan, akan tetapi bukan pula sesuatu yang memalukan, sebab bukan tindak kejahatan. Tetapi apakah semua orang akan mau peduli dan menghargai keberadaan mereka? Rasanya mustahil, sebab jangkauan untuk menghargai dan memahami perasaan mereka, bersimpati atas prestasi kerja mereka, untuk ngobrolpun barangkali kita tidak berkenan. Bahkan ibu kandung sendiri yang bertarung antara hidup dan mati di saat akan melahirkannya, tidak sudi lagi mengakuinya sebagai anak. Alasan malu dan memalukan, aib bagi keluarga, menjadikan keluarga atau orang tua tega untuk mengusirnya dari rumah. Hal ini tentu sangat menyakitkan bagi seorang gay, sehingga tidak mengherankan jika banyak di antara kaum gay yang melakukan upaya percobaan bunih diri sebagai jalan pintas mengakhiri tekanan batin dan timbunan emosi yang terakumulasi. Mengkonsumsi narkoba untuk menghilangkan luka lara walau sifatnya hanya sementara. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ada yang nekat mencari dan berupaya menjerumuskan orang lain untuk memperbanyak jumlah komunitas sebagai wujud perasaan terisolir dari lingkungan masyarakat.

Perlu disadari bahwa kaum homoseks pria tidak minta dilebihkan atau diperlakukan secara istimewa, namun mereka juga tidak ingin dianggap sebagai sampah masyarakat, sebab mereka toh dapat berdaya guna dan menghasilkan suatu karya spektakuler yang dapat dinikmati umat manusia dan demi alasan kemanusiaan. Kita tidak bisa pungkiri Elton John si penyanyi kondang itu misalnya, mampu menghibur masyarakat dunia lewat lagu-lagunya. Barangkali ia sendiri belum tentu dapat terhibur dengan lagu yang dinyanyikannya, sebab keberadaannya sebagai seorang gay sangat dicemooh banyak anggota masyarakat. Bahkan banyak penggemarnya yang berubah menjadi sangat antipati setelah ia memproklamirkan dirinya sebagai seorang gay. Beruntung ia seorang artis penyanyi yang populer, sehingga banyak kalangan menganggap pola hidupnya adalah trend perilaku di kalangan selebritis. Orang tidak begitu mau peduli mengapa ia menjadi seorang gay. Apakah pengalaman masa lalunya yang suram ataukah adanya kelainan hormonal. Kalangan ilmuanpun kelihatannya tidak berupaya untuk mengetahui gradasi homoseksualitas dirinya. Semua beranggapan bahwa homoseksualitas adalah trend perilaku orang tenar yang memiliki banyak uang dan sudah lazim terjadi di kalangan artis. Maukah kita mengatakannya sebagai trend perilaku? Boro-boro menyebutnya sebagai trend perilaku, untuk sekedar bertegur sapapun barangkali sudah kita najiskan.

Mereka adalah manusia yang butuh pengembangan diri dan mereka memiliki kebutuhan primer biologis sampai dengan kebutuhan aktualisasi potensi diri, yang kesemuanya butuh penyaluran dan penyeimbangan. Sebab kalau kita mau jujur dalam hidup ini, kita pasti mengakui bahwa tidak seorangpun di dunia ini yang tidak punya kelemahan dan kelebihan, termasuk kaum gay. Mereka akan senantiasa ada dalam kehidupan bermasyarakat, berkembang dan bertambah jumlahnya sekalipun mereka tidak bisa melahirkan seorang anak. Oleh karena itu rasanya sangat wajar kalau semua lapisan masyarakat bersedia menghargai dan mengakui mereka sebagai bagian dari masyarakat, serta secara berdampingan meraih sukses dalam kehidupan. Kesediaan kita untuk mengakui eksistensi kaum gay, menerima keberadaan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta kesediaan kita memberi dukungan yang mereka butuhkan dalam kehidupan ini secara wajar, merupakan perwujudan sikap agung manusia berbudaya. Semoga kita bersedia melakukannya...

No comments:

Post a Comment