Selama ini kita sering mendengar pemberitaan mengenai perkosaan yang
dialami oleh perempuan-perempuan di sekitar kita. Tak jarang dalam perkosaan
tersebut korban juga menderita luka yang sangat parah hingga menyebabkan
kematian. Perkosaan yang sadis ini terkadang membuat kita seram dan menutup
mata, menanggap mereka bukan bagian dari
dunia kita dan berasumsi bahwa kita atau orang di sekitar kita tidak akan ada
yang bernasib ‘sama’ seperti mereka. Guys, pemikiran itu salah banget.
Perkosaan bisa dialami oleh siapa saja kapan saja dan dimana saja. Perkosaan
dapat terjadi pada semua perempuan dari berbagai kedudukan, profesi, dan status
dalam masyarakat.
Berpakaian sopan atau berjilbab bukanlah
‘jaminan’ bahwa kamu tidak akan pernah mengalami perkosaan. Banyak kasus yang
timbul akhir-akhir ini yang membuktikan bahwa tidak sedikit perempuan berjilbab
di luar sana yang mengalami perkosaan. Perkosaan juga tidak terjadi hanya pada
mereka yang berpenampilan menarik. Contohnya saja kasus perkosaan pada nenek-nenek
berusia 64 tahun di rumahnya di Jawa Timur. Tidak berinteraksi dengan orang
asing atau membatasi keluar rumah juga bukan jaminan. Berapa banyak anak yang
diperkosa di dalam rumahnya sendiri? Oleh orang-orang terdekatnya bahkan
keluarga? Oleh pacar tampan yang tampaknya santun dan berbudi pekerti?
Masyarakat umum memang masih beranggapan
bahwa perkosaan terjadi karena si perempuan. Kenapa? Karena dalam budaya kita
yang masih mengagungkan superioritas kaum laki-laki, penindasan perempuan itu
dianggap sudah membudaya. Bahkan ketika menjadi korban, karena budaya ini sudah
tertanam di otak kita, kita menganggapnya wajar karena merasa perempuan memang
lemah dan pantas ditindas.
“Pakaiannya seksi banget sih!” kenapa bukannya “Laki-lakinya ngeliat
leher mulus sedikit udah langsung turn on sih! Kebanyakan nonton film yang
nggak bener!” “Pulangnya malam terus sih!” kenapa
bukannya “Ini gimana sih, suaminya. Udah tau istrinya terpaksa shift malam
untuk mencukupi ekonomi keluarga. Bukannya menjemput malah ngorok di rumah.”
Saya percaya kalian bisa menghapus paradigma bahwa perkosaan terjadi akibat
kesalahan perempuan atau karena perempuanlah yang memicu kejadian tersebut.
Memangnya ada anak perempuan yang sengaja menggoda ayahnya untuk diperkosa?
Memangnya ada perempuan yang memakai jilbab dengan tujuan merangsang laki-laki?
Memangnya ada perempuan yang bekerja membanting tulang demi susu anak bayinya
di rumah sengaja pulang pada malam hari untuk dinodai dan disakiti? Well, tidak
ada.
Korban perkosaan kebanyakan adalah mereka
yang memiliki kedudukan yang lebih rendah atau lemah dibanding pelakunya. Well,
perempuan saja sudah dilahirkan dengan cap ‘penduduk dunia no. 2’. Biasanya
terdapat tiga sikap yang dapat dilihat pada korban perkosaan:
a. Korban yang berusaha menahan perasaan dan bersikap
tenang
b. Korban yang menunjukan luapan emosinya dengan memaki
atau menangis
c. Korban yang menarik diri dengan berhenti berkomunikasi
dengan dunianya (sangat berpotensi pada depresi akut dan kegilaan)
Lebih lanjut
lagi, yang terberat sesungguhnya adalah label yang diberikan oleh masyarakat
yaitu ‘perempuan yang sudah tidak suci’ atau ‘perempuan penggoda’. Perempuan
yang mengalami perkosaan kerap diperlakukan lebih kejam dari narapidana. Bukan
hanya masyarakat, pihak keluarga korbanpun kerap menyalahkan bahkan menutupi
kejadian ini karena malu dan menganggap kemalangan yang terjadi sebagai ‘aib
keluarga’. Akibatnya, bukannya mendapatkan penanganan yang seharusnya, korban
malah terjerumus semakin dalam. So, kalian masih mau mengikuti pandangan
masyarakat umum itu atau setuju untuk mulai berfikir dengan akal sehat? Jika
kalian pernah diperkosa, mungkin hal-hal tersebutlah yang ingin anda jeritkan
selama ini. Betapa tak adilnya dunia pada anda. Namun jika anda termasuk mereka
yang beruntung dan belum pernah mengalami hal mengerikan ini, maka waspadalah,
bahwa anda bisa saja mengalaminya.
No comments:
Post a Comment